Cerpen : Hujan Yang Sama Dongeng Berlainan (Bab 2)

Assalamualaikum...

Halo sahabat , oke sesuai akad saya kemarin, kali ini aku akan menulis perihal kelanjutan dari cerpen Hujan yang Sama Cerita Berbeda. Oke, pribadi saja sob di simak cerpennya berikut ini.

Hujan yang Sama Cerita Berbeda (Bagian 2)


Hari ini benar-benar menjengkelkan, bagaimana tidak menjengkelkan kalau gua sedari tadi harus menyimak ejekan dari sobat gua karena gua menerima hukuman. Dan pastinya orang yang berani mengejek gua tidak akan bisa tertawa lebih lama. Sedang asik-asiknya mengerjai sobat gua yang ngejek gua tadi bel pulang pun berbunyi di susul dengan hujan yang turun tiba-tiba dengan sangat deras. Gua masukkan buku pelajaran, beberapa alat tulis dan jaket Resti ke dalam tas, kemudian bergegas ke parkiran, menyalakan mesin motor dan melesat ke luar sekolah menuju ke halte bis tempat gua bertemu dengan Resti kemarin. Baju dan celana seragam gua lumayan berair terkena air hujan, tapi semua itu tidak sia-sia sebab begitu gua menginjakkan kaki di halte bis ini seketika mata gua menangkap sosok anggun yang selama ini berada di anggapan gua tengah duduk membisu sambil membaca suatu buku, sepertinya buku novel.
"Hai kak." Gua senantiasa memanggilnya dengan sebutan kak, alasannya adalah gua rasa ia lebih bau tanah ketimbang gua.
Pandangan Resti pun teralih dari buku yang sedang dibacanya ke gua yang sedang berdiri di hadapannya, sambil memicingkan matanya memutuskan siapakah gerangan yang memanggil dirinya dan begitu beliau tahu siapa orang tersebut, senyum indah terlukis di bibirnya. Oh Tuhan senyum itu lagi.
"Oh kamu Nino, ada apa?" Tanya Resti masih dengan senyum di bibirnya.
"Ini, saya mau kembaliin ini kak." Ucap gua agak gugup sambil merogoh tas guna mengambil jaket Resti yang gua masukkan tadi agar tidak basah terkena air hujan. Dan sehabis mendapatkan apa yang gua cari, gua pun memberikannya kepada Resti.
"Oh jaketku, emang kamu udah gak menggigil?"
"E...udah engga kak, makasih ya." 
"Iya sama-sama." Ucapnya diselingi senyum yang kian bertambah anggun. Gua rasa senyumnya mampu mengundang penyakit diabetes alasannya manisnya.
Setelah itu gua pun duduk disampingnya sambil menunggu hujan reda, tidak! Gua tak inginhujan ini reda.

Tiga puluh menit,
Kita disini, tanpa suara.
Dan saya resah, mesti menanti usang
Kata darimu.
Mungkin butuh kursus, merangkai kata,
Untuk bicara...

Resti dan gua sama-sama melongo dan datang-datang saja melantun lagu lawas dari band terkemuka di negeri gua ini yang merupakan nada panggilan masuk dari handphone milik Resti. Tak hingga lagu simpulan, Resti eksklusif mereject panggilan masuk tersebut.
"Kenapa enggak diangkat kak?"
"Cuma orang enggak penting."
"Oh gitu."
Lagi-lagi gua dan Resti kembali termangu. Kemudian bersenandung lagi lagu tadi untuk kedua kalinya dan yang untuk kedua kalinya pula Resti mereject panggilan masuk dari orang yang "enggak penting" berdasarkan Resti itu. Gua rasa lagu itu seakan-akan tengah menggambarkan ketidak beranian gua untuk membuka bunyi dan mengatakan kepada Resti. Ah betapa cupunya gua.

Hampir satu jam gua dan Resti duduk di bangku penunggu di halte bis ini. Dan sama sekali tidak ada dari gua ataupun Resti yang berbicara atau mungkin saja dengan adanya gua disini Resti merasa risih atau sebagainya. Hujan pun telah reda, bila benar dugaan gua tadi maka lebih baik gua bergegas pulang kini. Gua mulai beranjak bangkit dari duduk, duduk lama yang menciptakan bokong gua mulai terasa pegal dan agak terasa panas. Namun ketika hendak kaki ini melangkah menuju motor yang terparkir persis di depan halte bis ini, tiba-tiba saja ajudan gua seperti ada yang menahan dari arah samping dan tentu saja orang yang menahan tangan gua itu ialah Resti. Sontak gua membalikkan badan gua menghadap ke arahnya menatap wajahnya yang tengan tertunduk dengan tangannya yang masih saja menggenggam tangan gua, bahkan lebih bersahabat. Gua amati wajahnya yang masih saja tertunduk yang diselingi dengan butiran air bening yang turun jatuh dan membasahi lantai halte bis yang agak penuh bubuk dan air hujan tadi. Gua turunkan tubuh gua mengambil posisi setengah duduk dengan mata masih memandang kearah parasnya yang masih tidak berubah posisi dari tadi. Kekuatan genggamannya mulai mengendur dan mulai melepas tangan gua, sambil meniadakan air matanya Resti menengadahkan parasnya menghadap wajah gua dan tersenyum. Bahkan setelah menangispun senyumannya tetap saja bagus, oh Tuhan ciptaan-Mu yang satu ini betul-betul indah. Gua dibuat terpana oleh senyuman manisnya dan tanpa gua sadari Resti telah menghilang dari hadapan gua.
"Woy Nino motor kamu keren nih, boleh lah aku nebeng." Teriak Resti seraya mengusap tangki motor gua.
Gua balikkan tampang gua ke belakang melihat ke arah Resti dan ya gua masih saja dalam keadaan mirip tadi, sampai Resti menghampiri gua.
"Nino...saya tuh manggil kamu, kau malah bengong aja." 
"Eh...iya kak ada apa?"
"Aku nebeng ya sampai depan gang aja, boleh gak?" Tanya Resti dengan senyuman manjanya.
"..." Lagi-lagi gua dibentuk terkesima oleh senyumannya dan kembali dalam lamunan gua.
"Nino ih kau malah diem lagi." Ucap Resti sambil mencubit pipi gua.
"Aduh sakit kak, ii...iiya boleh kok kak." 
Kemudian gua beranjak dan menaiki motor gua, menyalakan mesin dan di susul oleh Resti yang kemudian naik ke dingklik boncengan dan memeluk pinggang gua. Motor gua melaju cepat dan berhenti di sebuah gang yang bertempat tidak jauh dari halte bis tadi, gua berhenti dikarenakan tangan Resti menepuk bahu gua.
"Udah Nino sampe sini aja, makasih ya." Ucap Resti seraya turun dari motor gua dan pastinya beliau menyunggingkan senyum yang sama.
"Iya kak sama-sama." Jawab gua sambil membalas senyuman manisnya.
Lalu Resti pun masuk ke dalam gang tersebut, ingin rasanya gua menyusulnya tetapi terburu-buru gua urungkan niat gua itu, mengenang waktu yang sudah kian sore dan lalu gua pacu motor gua untuk kembali ke rumah. Dan sejak insiden hari ini, hubungan gua sama Resti menjadi kian akrab meskipun belum ada kepastian apa-apa tentang status hubungan kita. Bahkan gua masih galau dengan apa yang gua rasakan ketika ini.

-

Perkenalkan namaku Resti, aku anak pertama dari dua bersaudara, tetapi kini hanya tinggal aku saja anak yang tersisa dari keluargaku ini sehabis adikku satu-satunya meninggal dunia dua tahun yang lalu dikarenakan sebuah penyakit yang menyerang organ hatinya pada waktu itu. Keluargaku bisa dikatakan cuma keluarga sederhana dengan hidup apa adanya, tetapi dengan hidup yang sederhana saya, ayah, dan ibuku masih bisa senang. Aku belajar dari kedua orangtuaku bahwa hidup itu bukan sekadar apa yang kita miliki, melainkan apakah kita sudah mensyukuri apa yang telah kita miliki itu. Aku melakukan pekerjaan sebagai pelayan di sebuah restoran cepat saji yang sudah berkembang subur di negara ini, suatu kedai makanan cepat saji yang pemilik sekaligus pendirinya merupakan warga luar negeri. Aku melakukan pekerjaan part time dari jam tujuh pagi hingga jam dua belas siang, selebihnya aku menghabiskan waktu dirumah dengan membantu ibu mengurus rumah. Dan juga saya merupakan designer freelance yang bekerja mengedit foto seseorang yang mereka kirimkan via email dan pembayarannya tentu saja dengan transfer ke rekeningku. Bekerja menjadi designer juga merupakan alasanku untuk bekerja part time sebagai pelayan di kedai makanan, walaupun bekerja mengedit foto tidak selalu saja setiap hari ada orang yang order tetapi saya betul-betul bahagia melakukannya. Edit vektor, manipulasi, pop art, lowpolly, wpap, siluer, line art merupakan pola kecil dari teknik mengedit yang sering saya lakukan dalam pekerjaan ini dan pastinya sebelum konsumen order mereka akan bertanya perihal apa itu vektor apa itu manipulasi dan lebih anggun mana antara keduanya. Dan lagi-lagi meskipun pertanyaan mereka seputar keingintahuan ihwal teknik edit itu semua, yang memilih mereka order adalah price atau harga dari setiap teknik edit yang ingin mereka terapkan dalam foto mereka. Semakin sukar tekniknya makan akan makin mahal. Dan alhamdulillah dengan pekerjaanku yang kini ini, aku bisa menolong orang renta ya walau tidak seberapa tetapi aku akan terus berupaya. Dalam urusan asmara, saya pernah mengalami kegagalan cinta yang tidak akan pernah saya ungkit lagi, alasannya adalah itu benar-benar menyakitkan dan sempat menciptakan diriku terpuruk terlalu usang, bahkan ibu pun sampai cemas sekali terhadapku. Semua apa yang sudah aku alami ihwal cinta, menciptakan evaluasi jelek tentang pandanganku pada seorang pria, namun tidak selamanya begitu terlebih saat saya berjumpa dengan seorang pria bernama Nino di siang hari itu.

-

Siang itu mirip biasa aku pulang dari pekerjaanku selaku pelayan di kedai makanan cepat saji. Saat ku hendak turun dari bis dan melangkahkan kaki menuju halte, datang-tiba saja hujan turun, walaupun awalnya hujan turun dengan intensitas yang bisa dibilang kecil namun usang-kelamaan hujan turun secara derasnya. Hujan dibarengi dengan angin yang tidak mengecewakan bertiup kencang tidak begitu saja menciptakan tubuhku dingin dan menggigil, dikarenakan saat ini aku sedang menggunakan suatu jaket yang entah dari bahan apa namun berhasil membuat tubuhku hangat dan terhindar dari dinginnya cuaca di siang ini. Tidak lama ketika diriku sedang bernyanyi-nyanyi dalam sendiri di halte bis ini, mataku menangkap sosok laki-laki mengendarai suatu motor besar dengan spakbor belakang yang telah dicopot, yang kemudian tergesa-gesa memarkirkan motor besarnya itu di depan halte ini. Ia secepatnya turun dari motornya dan bangkit membelakangiku, dari seragam yang ia kenakan saya mampu menyimpulkan bahwa dia ialah seorang siswa dari sekolah yang tepat berada di samping halte bis ini. Ku menjajal mengabaikannya dan beralih pada sebuah handphoneku yang sedari tadi timbul notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak aku kenali. Hampir tiga puluh menit lamanya aku menanti di halte bis ini dan hujan pun juga tak kunjun reda. Layaknya hujan yang masih enggan untuk berhenti, laki-laki dihadapanku ini juga sama sekali tidak mengeluarkan suara sepatah katapun dan masih mempertahankan posisinya. Entah ia menyadari akan adanya diriku atau tidak, kuberanikan diriku mulai membuka bunyi.
"Deras banget ya hujannya."
"Oh iya kak." Jawabnya sembari membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku.
"Nama kamu siapa?"
"Nino."
Tiba-tiba kami pun melongo dan hujan pun belum menampakkan tanda-tanda bahwa beliau akan berhenti mengguyur bumi. Kulihat tangannya menggigil, kemudian dengan inisiatif diriku sendiri kulepas jaket yang sedang kukenakan dan memperlihatkan kepadanya.
"Nih pake aja, supaya gak menggigil gitu!"
"Gak usah kak, makasih."
"Gak apa-apa."
Kukenakan jaketku kepadanya dan tampaknya beliau pun sempat terkejut dengan yang kulakukan.
"Santai aja Nino!" Ucapku sebab melihatnya gugup.
"Ehh i...iiya kak." Ucap Nino dengan terbata-bata.
"Nama saya Resti." Ucapku seraya menyunggingkan suatu senyuman termanis yang kupunya kepadanya. 
Entah mengapa saat ini juga diriku ingin rasanya membuka hati kembali terhadap seorang pria. Nino kurasa berlainan, ia berlawanan dengan laki-laki pada umumnya. Ah, saya mulai menyukainya pada pandangan pertama. 

Bersambung...

Bagaimanakah kisah Nino dan Resti? Apakah mereka akan menjadi sepasang kekasih? Jangan lupa untuk membaca kelanjutan ceritanya di esok hari ya sob.

Wassalamualaikum...

Sumber https://porslinsamatoren.blogspot.com

Comments