Cerpen : Hujan Yang Serupa Kisah Berlawanan (Bagian 3)

Assalamualaikum...

Halo sobat , bagaimana hari Minggunya nih? Seru atau malah menjemukan? Kalau bosan yaudah baca blog saya saja ya hehehe. Oke sob, aku minta maaf lagi alasannya gres sempat menulis kelanjutan cerpennya pada hari ini. Kemarin aku sedang jauh dari laptop, jadi rasanya akan susah untuk menulis cerpen jika jauh dari laptop. Kalau gitu, silahkan dibaca kelanjutan cerpen Hujan yang Sama Cerita Berbeda.

Hujan yang Sama Cerita Berbeda (Bagian 3)


Hujan mulai reda, bahkan berhenti telah. Ku melirik sosok laki-laki yang hampir dua jam ini menunggu derasnya hujan bersamaku, di halte bis tua ini. Oh Tuhan beliau masih saja melamun dengan persepsi kosong dan masih mengenakan jaket yang tadi sengaja kukenakan kepadanya. Tak ingin membuang waktu alasannya masih ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan dirumah, maka segera ku beranjak dari bangku dan berjalan keluar dari halte bis, sesekali kulirik ke arah Nino namun ia masih saja menatap kosong ke arah depan entah menyaksikan apa. Kusadari ku menyukainya, gres kali ini diriku menggemari laki-laki yang berusia lebih muda dariku. Ku berharap entah kapan tapi saya ingin berjumpa dengannya lagi. 

Sesampainya dirumah, kuketuk pintu sembari mengucapkan salam dan tak usang terdengar balasan salam yang kuucap dari dalam rumah dan pintu pun terbuka oleh seorang wanita paruh baya, ya dialah ibuku.
"Kok gres pulang nak?"
"Iya bu, tadi Resti berteduh dahulu di halte." Jawabku sembari mencium tangan ibu.
"Oh begitu, ya sudah kini kamu ganti baju terus makan ya, ibu sudah masak buat kamu tuh bahkan sudah agak cuek deh." Ucap ibu dengan sedikit canda.
"Baik bu."
Ya dialah ibuku, beliau betul-betul penyayang dan sabar dalam merawat aku, meskipun saya sudah sebesar ini tetapi kasih sayang ia terhadapku tidak pernah menyusut. Ku bergegas menuju kamar untuk mengubah bajuku. Sebelum hendak keluar, ku teringat akan seseorang yang selama ini terus menggangguku dengan pesan-pesannya, maka kuambil tas dan membuka resletingnya merogoh isinya dan mengambil handphone. Kutekan tombol guna menghidupkan kembali lampu latar handphoneku, membuka polanya, kemudian menekan ikon pesan yang terdapat di pojok kiri bawah. Dan benar saja ada lebih dari lima pesan yang kalau kulihat dari jam terkirimnya belum usang tadi. Ku cek pesan tersebut dan dari semua pesan yang masuk itu berasal darinya. Kuhapus semua pesan yang berasal darinya tanpa kubaca apalagi dahulu, kulemparkan handphone ke kasur dan beranjak keluar kamar, menuju meja makan untuk secepatnya makan siang. 

Adzan Subuh telah berkumandang dan adzanlah yang sudah membangunkanku dari tidur, menghentikan mimpi indah yang kualami semalam. Semalam aku memimpikan Nino, kumelihat dirinya datang dalam mimpiku menghampiriku dengan menjinjing setangkai bunga mawar merah. Kualihkan persepsi mataku darinya yang makin mendekat kearahku, memandang ke sekelilingku yang ku amati tampak seperti suatu taman yang sungguh-sungguh sangat indah. Taman yang dipenuhi dengan bunga tulip dengan banyak warna yang berlawanan-beda. Dan saya juga gres menyadari bahwa diriku tengan duduk di suatu dingklik di taman ini. Kualihkan pandanganku dari sekeliling dan berlanjut memandang sosok pria yang telah bangun di hadapanku ini. Dia tersenyum kepadaku, kubalas senyumannya. Dia membungkukkan badannya dengan posisi satu lutut kakinya sebagai acuan, seraya memperlihatkan setangkai bunga mawar yang ia pegang tadi kepadaku. "Would you be mine?" Itulah kata yang ia ucap kepadaku, kata-kata itu seakan menyihirku dan membuatku bengong hingga-sampai aku lupa jikalau belum menunaikan kewajibanku (Shalat Subuh) kulirik jam menawarkan pukul lima melalui lima belas menit. Ku bergegas berdiri dari kasur dan berlari menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Jam dinding memperlihatkan pukul enam lebih lima menit, ku sudah siap berangkat kerja hari ini dan sebelum itu saya sarapan apalagi dulu bareng ibu dan ayahku. Menu sarapan kali ini yakni "nasi goreng alakadarnya" ya seperti itulah ibuku menyebutnya, tetapi nasi goreng bikinan ibu benar-benar lezat tidak kalah dengan kuliner di kedai makanan manapun itu. Setelah sarapan saya pamitan terhadap kedua orang tuaku sambil mencium tangan keduanya dan lekas berangkat dengan mengucap salam sebelum diriku hendak keluar dari rumah. Kulangkahkan kakiku seraya berdoa untuk kebaikan di hari ini dan kalaupun bisa saya ingin bertemu dengannya lagi, ya berjumpa dengan Nino.

Hujan deras kembali mengguyur di siang hari ini. Dan ku kembali duduk sendiri di halte bis ini, ku teringat akan novel yang baru saja kupinjam dari temanku tadi. Lantas kubuka tas, kuambil sebuah buku novel lalu membacanya guna menetralisir rasa bosan yang sedari tadi menghinggapiku, mirip lalat kepada kuliner. Sekitar lima belas menit telah saya membaca novel ini, datang-datang datang seorang laki-laki (anak sekolah) menghampiri halte bis ini seraya memarkirkan motor besarnya itu. Dia Nino, sedang apa beliau disini? Mengapa ia berteduh lagi?. Seketika pertanyaan-pertanyaan timbul di pikiranku. Setelah memarkirkan motornya beliau menghampiriku.
"Hai kak."
"Oh kau Nino, ada apa?" Tanyaku kepadanya dengan menunjukkan senyuman.
"Ini, aku mau kembaliin ini kak." Ucap Nino terlihat agak nervous sambil merogoh tas yang beliau kenakan.
"Oh jaketku, emang kau udah gak menggigil?"
"E...udah enggak kak, makasih ya."
"Iya sama-sama." Ucapku sambil tidak henti-hentinya memberikan senyuman terbaikku kepadanya.
Setelah itu dia duduk disampingku, seandainya kamu tahu Nino bahwa ku suka padamu. Aku dan Nino pun sama-sama bengong dan menatap kosong kearah hujan. Tiba-tiba saja terdengar lagu dari band Jamrud yang sengaja ku setel sebagai nada panggilan masuk, seketika buyar lamunanku dan Nino, kemudian kureject panggilan itu yang tidak lain dan tidak bukan dari orang aneh yang selama ini mengirim pesan padaku. Ku reject panggilan masuk dan pastinya lagu pun berhenti dan bibir Nino pun mulai bergerak dan mengeluarkan bunyi membuka sebuah pertanyaan kepadaku.
"Kenapa enggak diangkat kak?" Tanya Nino dengan mimik wajah heran.
"Cuma orang enggak penting." Jawabku sekenanya.
"Oh gitu."
Dan lagi-lagi untuk kedua kalinya lagu panggilan masukku berbunyi lagi, pastinya tidak ada lima detil aku sudah merejectnya.

Aku rasa sudah nyaris satu jam aku dan Nino berada di halte bis ini, bersama-sama menanti hujan reda dan tampaknya sama sekali tidak ada dari kita yang ingin membuka dialog terlebih dahulu. Sampai hujan pun reda, kulihat Nino beranjak dari dingklik yang dia duduki sedari tadi menuju motornya yang terparkir bagus di depan halte, menanti majikannya dengan setia dan tampaknya Nino hendak pulang. Entah mengapa hati ini terasa sakit, datang-datang saja saya teringat akan Rian (mantanku dan orang yang selalu menghubungiku) teringat akan kandasnya hubunganku dulu dengan cara yang terlalu menyakitkan. Entah siapa yang menyuruh tanganku, ku gapai tangan Nino yang tengah bangkit mempunggungiku dan wajahku menunduk di susul air bening yang mulai berjatuhan dari mataku ini. Kurasakan ada pergerakan dari tangan Nino. Benar saja begitu kutengadahkan wajahku menatap ke depan, kulihat Nino sedang bersimpuh di hadapanku memperhatikanku dengan mata teduhnya. Kuhapus air mataku dan tersenyum kepadanya, entah mengapa Nino jadi melamun sendiri. Berkali-kali kuajak beliau berbicara tetapi lagi-lagi ia menjawab sedikit dan kembali termenung, Nino agak aneh hari ini. Siang itu ku pulang kerumah dengan perasaan senang karena Nino mengantarkanku pulang walaupun cuma hingga gang, alasannya adalah mustahil untuk motor besarnya memasuki gang sempit ini.

-

Sabtu malam atau lebih tepatnya malam ahad, gua dan Resti pergi ke salah satu pasar malam yang selama dua ahad ini akan ada di daerahku. Malam itu Resti terlihat anggun sekali dengan kemeja panjang bergaris warna pink dengan warna dasar putih dipadu dengan warna rok senada, menambah kesan elok beliau malam ini. Ku parkirkan motor kesayanganku, lalu mempesona lebih tepatnya menggandeng tangan Resti ke kawasan loket untuk berbelanja dua buah tiket untuk naik bianglala.
"Nino aku enggak mau naik bianglala, bisa-mampu nanti muntah."
"Enggak apa-apa kak, lagian udah beli kok. Kalo kakak takut teriak aja!"
"Ih kamu tuh."
"..."
"Emmm yaudah deh." Ucapnya dengan bibir agak manyun.
Gua memberikan dua buah tiket milik gua dan Resti terhadap kakak-abang yang berjaga di dekat bianglala, lalu gua dan Resti naik bianglala itu. Tidak perlu menunggu waktu lama, bianglala yang sebelumnya sepi sudah terisi dengan berbagai orang tentunya dengan pasangannya masing-masing. Mulai dari yang muda sampai yang lanjut usia menaiki wahana ini. Abang-abang yang berjaga di tiang bianglala tadi yang bertugas mengambil tiket dari para hadirin hendak menawan tuas di sebelah ia bangkit yang hendak membuat bianglala ini bergerak dan berputar. Bianglala pun mulai berputar secara perlahan namun usang kelamaan makin kencang saja. Gua lirik Resti yang duduk di sebelah gua tengah memeluk tangan gua akrab seraya menutup kedua matanya, gua yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum memandangnya. Gua sama sekali tidak bersuara melainkan menampilkan ekspresi datar selama menaiki wahana ini, alasannya adalah di banding dengan wahana yang lain yang pernah gua coba, bianglala ini tidak ada apa-apanya. Gerakan bianglala pun melambat dan semakin lambat sampai akhirnya berhenti. Mengetahui bianglala yang telah berhenti, Resti pun segera berlari keluar dari bianglala menjauhi kerumunan orang di pasar malam ini dan menuju sebuah semak-semak. Gua yang melihat itu kemudian berjalan mendekati Resti dan yang gua liat ialah Resti nampak sedang memuntahkan isi perutnya. Gua rasa ia mual sehabis naik bianglala tadi.

Rasa manis mulai merasuki indra lidah gua sehabis gua memasukkan permen kapas ini ke dalam mulut. Gua memang paling suka sama kuliner dan minuman yang cantik, tergolong permen kapas ini yang tidak pernah ketinggalan gua beli jika gua berkunjung ke pasar malam bareng keluarga gua. Dan mungkin bila gua tidak suka kepada Resti gua pun akan memakannya alasannya dia bagus. Sambil menikmati permen kapas yang mulai habis, gua lirik Resti di samping gua yang sedang mengoleskan minyak aromaterapi di bab bawah hidungnya (daerah kumis berada, bagi yang laki-laki) sembaru memijit-mijit pelan dahinya. Gua merasa iba menyaksikan beliau muntah-muntah tadi, tapi agak lucu juga sih mengenang beliau yang sudah sampaumur ( lebih akil balig cukup akal dari gua) muntah saat naik bianglala yang tidak terlalu cepat berputarnya.
"Kakak naik bianglala aja muntah." Ledek gua.
"..."
"Kak?"
"Apa sih? Aku pusing tau setiap naik itu, kamunya aja yang tetep maksa."
"Ya maaf kak." Ucap gua dengan wajah yang dibentuk cemberut.
Seketika Resti pun melirik gua dan.
"Ushhhh udah dong kamu jangan cemberut gitu ah." Ucapnya seraya mencubit pipi gua.
"Aduhh sakit tau kak."
Resti pun tertawa lepas seolah-olah sudah lupa akan rasa mual dan pusing yang menghinggapi dirinya. Dan malam itu gua menghabiskan waktu bareng Resti cuma untuk sekadar berbincang-bincang atau kembali bermain wahana lain (selain bianglala) di pasar malam tersebut. Jam tangan gua sudah menawarkan pukul sembilan dan gua pun pulang dengan mengirimkan Resti apalagi dahulu dan tentunya hanya sampai di depan gang rumahnya. Tidak gua sangka sebelumnya akan mampu sedekat ini dengan Resti, tetapi gua senang dan gua berharap mampu terus seperti ini walau hingga detik ini gua belum mengungkapkan isi hati gua sama sekali.

Bersambung...

Tunggu kelanjutan ceritanya besok ya sob. Terimakasih sudah membaca dan selamat malam.

Wassalamualaikum...

Sumber https://porslinsamatoren.blogspot.com

Comments